Pulau Karimun merupakan pulau yang sudah terkenal sejak masa Kerajaan Riau-Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat. PulauKarimun dulunya berpusat di Meral, yang saat ini menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Karimun. Bukan seperti saat ini dimana pusat pemerintahan sudah berpindah ke Tanjung Balai Karimun, hal ini dikarenakan adanya peralihan kekuasaan yang terjadi di Kerajaan Riau-Lingga.
Pada tahun 1511 Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis, Sultan Mansyur Shah yang saat itu menjabat sebagai Raja melarang keturunannya untuk tinggal di Malaka, hal ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup keturunannya, akhirnya disuruhlah keturunannya mencari daerah baru di sekitar Malaka untuk membangun kerajaan-kerajaan kecil.Setelah itu muncullah kerajaan-kerajaaan kecil seperti :
Kerajaaan Indrasakti yang berkedudukan di Pulau PenyengatKerajaan Indraloka yang berkedudukan di TumasekKerajaan Indrapura yang berkedudukan di SiakKerajaan Indragiri yang berkedudukan di Rengat, danKerajaan Indrapuri yang berkedudukan di Langkat
Sementara itu, rakyat malaka berpencar mencari tempat tinggal, salah satunya adalah Pulau Karimun. Sejak Malaka dikuasai oleh Portugis daerah Selat Malaka menjadi daerah perdagangan yan sangat terkenal, semua pelayaran yang akan dan menuju ke Malaka melewati selat ini, dan juga melewati Pulau Karimun. Kapal-kapal yang berlayar melewati Pulau Karimun tidaklah aman, karena banyaknya lanon (perompak) yang biasanya menjarah harta dari kapal yang berlayar. Diantara para lanon, ada satu lanon yang sangat terkenal yaitu Pameral. Pameral merupakan kepala perompak yang berada di wilayah Pulau Karimun.
Kekacauan yang terjadi di Pulau Karimun juga terdengar oleh Raja Kerajaan Riau-Lingga yang memerintah disana, oleh karena itu diadakanlah perundingan diantara pembesar kerajaan untunk menanggulangi masalah yang terjadi. Setelah dirundingkan, maka diputuskanlah untuk menangkap kepala perompak Pameral, dan akhirnya Pameral pun itangkap dan dimasukkan ke penjara di Pulau Penyengat.
Keadaan setelah Pameral ditangkap tidaklah membaik, bahkan makin banyak perompak yang merompak kapal-kapal yang melewati Pulau Kaarimun. Akhirnya para pembesar kerajaan mengadakan perundingan kembali untuk menghadapi masalh ini, dan dicapailah satu keputusan untuk menyuruh Pameral mengamankan daerah Karimun dari ancaman perompakan atau dia akan dihukum pancong (pancung).
Setelah musyawarah tersebut, Pameral pun dipangil oleh Sultan, dan Sultan berkata
” ya Pameral, kalau kau bisa mengamankan perompak-perompak di sekitar Laut Malaka maka dose engkau akan aku ampunkan, dan engkau tidak jadi dihukum pancong”
mendapat syarat itu, hati Pameral senang karena dia tidak jadi dihukum pancong, dan Pameral pun mengangkat tangan dan menjunjung dibawah duli berkata
“ampon patek tuanku, ampon beribu-ribu ampon, kalau memang itu syaratnye patek siap mengamankan perompak”
Setelah mendapat perintah dari Sultan maka Pameral pun kembali ke Pulau Karimun beserta hulu balang kerajaan untuk mengamankan daerah itu dari perompak, dan tak lama kemudian amanlah wilayah tersebut dari ancaman perompakan.
Atas jasanya tersebut Pameral diangkat menjadi batin pertama di daerah itu, dan Sultan memberikan tanah ke Pameral sehingga berkembang sampai ke anak cucunya.
Begitulah awal mulanya Pulau Karimun menjadi tempat pemukiman yang dilatarbelakangi oleh peristiwa masa lampau.
Sementara asal usul dari nama Pulau Karimun ada beberapa versi, diantaranya
1. Nama Pulau Karimun diberikan oleh pedagang Gujarat (India)
Awal mula ceritanya adalah setelah daerah ini aman dari perompakan, maka banyaklah pedagang-pedagang dari India, Yaman, Mesir maupun Arab datang ke Malaka. Suatu ketika sebuah kapal berlayar di Selat Malaka terhantam badai, selanjutnya kapal tersebut terdampar di suatu pulau yang sekarang ini disebut Pulau Karimun Kecil. Salah satu pedagang di kapal tersebut yang ingin menyebrang ke Pulau Jawa yang bernama Sech Jalaluddin tidak bisa melanjutkan perjalanan karena kerusakan kapal akhirnya terpaksa bermalam di pulau tersebut. Saat sehabis solat subuh Sech Jalaluddin melihat alam sekitarnya dan betapa takjubnya dia melihat cahaya yang keluar dari gunung di pulau itu. Warna Cahaya sangat Menakjubkan yaitu kuning keemasan, seketika itu pula ia langsung berdoa dan mengangkat tangan dan berseru ” Ya Allah Ya Karim yang mulia”. Begitulah asal muasal Pulau Karimun yang awalnya adalah “Karim” kemudian menjadi Karimun. Menurut informasi Gunung yang disebut adalah Gunung Jantan.
2. Nama Pulau Karimun berasal dari sepasang suami istri
Asal usul nya adalah ketika sepasang suami istri adalah orang pertama yang mendiami pulau tersebut, sehingga nama merka dijadikan nama pulau ini, nama suami tersebut adalah “Karim” dan nama istrinya adalah “Maimun” sehingga didapatlah nama Pulau Karimun.
Sumber : Buku Sejarah Daerah Kabupaten Karimun 3
BUDAYA MELAYU ADALAH BUDAYA TERBUKA
Budaya Melayu umumnya, khasnya Melayu Riau, adalah budaya yang terbuka. Keterbukaan itulah yang menyebabkan kebudayaan Melayu menjadi majemuk dengan masyarakatnya yang majemuk pula. Kemajemukan inilah sebagai salah satu khasanah budaya Melayu yang tangguh, serta sarat dengan keberagaman. Karenanya, orang mengatakan bahwa budaya Melayu bagaikan pelangi atau taman bunga yang penuh warna warni, indah dan memukau. Salah satu khasanah budaya Melayu yang paling sarat dengan nilai-nilai utama sebagai “jatidiri” kemelayuan itu adalah adat istiadatnya atau dikatakan “adat resam”.
Melalui proses keterbukaan itu pula adat resam Melayu menjadi kaya dengan variasi, sarat dengan simbol (lambang) dan falsafah. Kekayaan khasanah nilai itu dapat disimak antara lain dari keberagaman alat dan kelengkapan upacara adat, dari alat dan kelengkapan pakaian pakaian adat, dari bentuk dan ragam hias rumah, dari alat dan kelengkapan ruamh tangga, dari upacara-upacara adat dan tradisi, dari ungkapan-ungkapan adat (pepatah petitih, bidal, ibarat, perumpamaan, pantun, gurindam, seloka, syair dll), yang mereka warisi turun temurun. Karenanya, tidaklah berlebihan bila ada yang berpendapat, bahwa khasana budaya Melayu merupakan “ samudera budaya dunia”, sebab di dalam budaya Melayu memang terdapat berbagai unsur budaya dunia. Dengan sifat keterbukaan itu pula budaya Melayu mampu menyerap beragam unsur budaya luar, sehingga memperkaya khasanah budaya Melayu itu sendiri.
Dari sisi lain, keterbukaan budaya Melayu tidaklah bermakna “terdedah tanpa penapis”, sebab adat istiadat Melayu menjadi salah satu penapis utama dari masuknya unsur-unsur negatif budaya luar. Nilai-nilai adat yang Islami itulah yang senantiasa menyaring dan memilah setiap unsur budaya luar yang masuk. Unsur yang baik mereka serap dengan kearifan yang tinggi, sedangkan yang buruk merka buang dan jauhkan.
Sekarang, peranan adat nampaknya tidak lagi sekental dahulu, sehingga fungsi penapisnya juga turut luntur dan melemah. Akibatnya, di dalam masyarakat Melayu Riau, banyak sudah unsur-unsur negatif budaya luar yang masuk dan merebak kedalam masyarakat Melayu, terutama melanda generasi mudanya. Indikasi ini dengan mudah dapat disimak, antara lain dari berkembangnya kemaksiatan (prostitusi, perjudian, minuman keras, narkoba, tindakan kejahatan dll), yang menjangkau sampai kepelosok-pelosok perkampungan Melayu.
Selain itu, karena menurunnya wibawa adat, menyebabkan terjadi semacam “krisis akhlak”, sehingga banyak sudah anggota masyarakat adat Melayu yang tidak lagi berperilaku sebagai “orang beradat”, tetapi berubah menjadi “orang yang emosional”, menjadi orang yang “kasar langgar”, menjadi orang yang “kehilangan sopan santun”, menjadi orang yang “bangga dengan hujat menhujat”, menjadi orang yang “berburuk sangka”, menjadi orang yang hidup “nafsu nafsi”, menjadi orang yang “mau menang sendiri”, menjadi orang yang mementingkan diri sendiri atau kelompoknya semata dan sebagainya.
Keadaan ini tentulah sangat patut dan layak untuk disimak dan diredam, agar tidak terus menerus merebak merusak tatanan kehidupan masyarakat Melayu yang beradat dan Islami.